Bukit Matang Kaladan

Bukit Matang Kaladan: Raja Ampat Versi Kalimantan (Catatan Perjalanan)

“Kalau mau melihat Raja Ampat di Kalimantan, datanglah ke Bukit Matang Kaladan.” Itulah kalimat yang sering dikatakan banyak orang untuk menggambarkan keindahan Bukit Matang Kaladan. Meskipun bukan berarti menyamakan dengan Raja Ampat, karena setiap tempat wisata pastinya punya keunikan tersendiri, tetapi poinnya adalah Bukit Matang Kaladan menawarkan pemandangan yang mirip dengan Raja Ampat. Danau kebiruan dan kehijauan yang dikelilingi pegunungan dan gugusan pulau di tengahnya. Juga kapal motor yang berlalu lalang.

Bukit Matang Kaladan terletak di Desa Tiwingan Lama, Kecamatan Aranio, Kabupaten Banjar. Bisa ditempuh dengan mobil atau motor dengan kondisi jalan mulus beraspal. Namun untuk mencapai ke puncak, kita hanya bisa menggunakan motor (khusus ojek dari warga lokal) atau berjalan kaki.

Kami memilih berjalan kaki saja untuk sampai ke puncak agar mendapatkan sensasi mendaki. Berdasarkan informasi di internet, Bukit Matang Kaladan memiliki ketinggian 400 mdpl.

Bagi yang ingin cepat sampai atau tidak ingin bercapek-capek jalan kaki, sebaiknya menggunakan ojek saja. Menurut informasi dari teman yang pernah ke sana, naik ojek dikenakan tarif 20 ribu per orang untuk sekali naik. Namun ketika kami melihat spanduk ojek, tulisan tarif 20 ribu itu sudah dicoret. Kami berasumsi tarif ojeknya sudah naik. Saya juga tidak sempat menanyakan hal itu kepada penjaga di sana.

Perjalanan ke Bukit Matang Kaladan searah dengan dermaga Riam Kanan. Dari dermaga ini, kita bisa menyeberang ke pulau-pulau atau destinasi wisata di sekitaran waduk Riam Kanan. Seperti Pulau Pinus, Pulau Rusa, Pulau Bekantan, Bukit Batas, dan sebagainya.

Jembatan menuju Bukit Matang Kaladan
Jembatan yang akan kita lalui jika menuju ke Bukit Matang Kaladan

Ketika sampai di sini, kami disambut dengan lantunan shalawat dari sebuah masjid. Sepertinya warga di sini sedang mengadakan peringatan Isra Miraj. Orang-orang berbaju koko nampak berlalu lalang. Suasana terasa sangat agamis. Berbanding terbalik dengan kami yang ingin camping, hehe.

Sebelum sampai ke area dermaga, kita harus membayar tiket masuk sebesar 10 ribu per orang. Namun ini belum termasuk tiket ke Matang Kaladan. Nantinya saat sudah sampai puncak, kita akan membayar kembali sebesar 10 ribu per orang.

Lokasi parkir ada di sekitaran dermaga ini. Biaya parkir sebesar 10 ribu per motor untuk yang menginap. Motor akan diparkir di tempat yang teduh sehingga terhindar dari panas dan hujan. Helm-pun disimpan di tempat yang lebih aman sehingga tidak perlu khawatir hilang. Di sekitaran dermaga ini, banyak terdapat warung makan. Jadi kalau mau mengisi perut sebelum muncak atau membeli perbekalan, bisa di sini.

Perjuangan Menuju Matang Kaladan

Setelah semua sudah siap, kami mulai berjalan menuju puncak. Kami melewati rumah-rumah warga. Nampak mereka sangat ramah dengan para pengunjung. Fasilitas umum di sini cukup lengkap, mulai dari jembatan, masjid, hingga sekolah. Jalanan di area pekampungan ini terbuat dari paving block.

Ada 2 jalur untuk mencapai puncak. Jalur ekstrim yang cukup terjal tetapi lebih dekat dan jalur landai tetapi lebih jauh. Berdasarkan saran dari seorang teman, kami mengambil jalur landai saja.

Jalanan yang kami lalui menuju puncak terbuat dari semen dengan ukuran bervariasi. Terkadang cukup untuk 2 orang berpapasan dan terkadang hanya jalan setapak. Kalau ada ojek atau motor warga yang lewat di jalur, kita harus menepi.

Setelah melewati perkampungan, kita akan berjalan melewati hutan dan perkebunan warga. Tanjakan terjal sudah mulai terasa di awal perjalanan. Kami para pekerja kantoran yang terbiasa duduk lama di depan komputer dan jarang olahraga, tentu sangat kesulitan menaklukkan jalur pendakian ini.

Semakin lama, jalanan semakin menanjak. Kemiringan paling ekstrim mungkin sekitar 60-70 derajat. Jika sebelumnya kaki masih kuat melangkah, kini hanya berselang beberapa langkah, kami harus beristirahat dulu. Jantung berdetak lebih kencang, kaki terasa berat, dan napas semakin memburu. Begitu juga dengan keringat yang mulai membasahi baju. Tak heran jika perjalanan ini memakan waktu sekitar 1 jam. Padahal jarak tempuh normal hanya sekitar 30 menit.

Kondisi jalan ke Matang Kaladan
Kondisi jalan

Bagi yang terlanjur berjalan kaki dan merasa sudah tidak sanggup lagi, kita bisa menghubungi paman ojek. Nomor telepon mereka tersebar di beberapa titik di sepanjang jalan. Jaringan telepon dan internet cukup bagus, kok. Saya pengguna provider Axis tetap dapat mengecek WA saat di puncak.

Kami beruntung cuaca tidak hujan. Padahal sekarang sedang musim hujan. Dari awal perjalanan pun, langit sesekali terlihat mendung. Akan semakin menyulitkan jika hujan turun. Selain pakaian yang basah, jalur mendaki akan menjadi licin. Tentu itu sangat membahayakan. Oleh karena itu, sebaiknya menggunakan sepatu yang nyaman untuk mendaki.

Puncak Bukit Matang Kaladan

.

Menjelang sore, kami akhirnya sampai di puncak. Baru sebentar berada di sana, hujan mulai turun. Kami segera berteduh di sebuah pondok. Sembari menunggu hujan reda, kami manfaatkan kesempatan itu untuk beristirahat. Perjalanan kali ini cukup melelahkan.

Kondisi puncak Matang Kaladan sangat sepi. Hanya ada kami berempat dan penjaga beserta anak istrinya. Saat menuju ke sini pun, kami hanya berpapasan dengan 2 orang yang sudah turun dan 1 rombongan yang menuju Bukit Sinyal. Sesekali berpapasan juga dengan warga lokal yang menaiki motor, mungkin menuju kebun atau ladang mereka.

Setelah hujan mulai reda, kami beranjak dari pondok itu dan mencari tempat untuk mendirikan tenda. Tanah di sini tanah merah dengan bebatuan kecil dan rerumputan. Puncaknya memanjang dari kiri ke kanan. Cukup luas untuk berkemah.

Spot Foto
Salah satu spot foto

Di sisi kiri, terdapat banyak tempat berfoto dengan berbagai bentuk. Sementara di sisi kanan, terdapat warung sekaligus rumah penjaga, tempat penyewaan tenda dan perlengkapan outdoor, toilet, musholla, dan pondok/pendopo. Di sini juga telah dialiri listrik. Jadi jangan khawatir kehabisan baterai HP. Kalau malam, lampu tenaga surya juga akan menyala. Meski begitu, sebaiknya tetap membawa penerangan tambahan karena tidak semua sudut diterangi cahaya lampu.

Dari atas bukit, kita bisa menikmati pemandangan waduk Riam Kanan yang sangat indah. Sejauh mata memandang, terlihat gugusan pulau dengan hutan yang menghijau dan pegunungan megah yang membiru. Benar kata orang, capeknya mendaki Bukit Matang Kaladan akan hilang ketika sudah berada di puncaknya.

Pagi hari, udara terasa begitu segar. Kabut tebal menyelimuti puncak setelah semalam hujan turun dengan cukup deras. Cahaya matahari mulai nampak ketika kabut menipis. Dari kejauhan terlihat seolah pepohonan di bawah sana yang mengeluarkan kabut ini.

Kalah Saing

Meski menawarkan pemandangan yang indah, Bukit Matang Kaladan seolah mulai ditinggalkan. Menurut penjaga, kini Matang Kaladan tak lagi dikunjungi banyak wisatawan. Padahal dulu, puncak Matang Kaladan akan penuh dengan tenda. Tak jarang ada wisatawan yang gagal menginap karena tidak kebagian tempat. Namun kini, jumlahnya menurut drastis. Hal ini terbukti ketika kami kesana, hanya ada kelompok kami saja. Padahal kami datang di saat musim libur panjang.

Masih menurut penjaga di sana, salah satu penyebabnya karena kini semakin banyak tempat wisata baru di Riam Kanan. Sebut saja Bukit Sinyal, Bukit Batu, Bukit Batu Betabang, dan sebagainya. Sehingga orang-orang mulai beralih ke sana.

.

Matang Kaladan Tetap Harus Bertahan

Sayang sekali jika Bukit Matang Kaladan yang indah ini semakin kehilangan peminat. Yang lebih dikhawatirkan, karena minimnya pengunjung, akhirnya tempat wisata ini menjadi terbengkalai.

Bukan hanya ditinggalkan wisatawan, para pengelola Bukit Matang Kaladan juga mulai beralih. Hal ini kami temui ketika turun, kami bertemu dengan seseorang yang kata teman saya, beliau dulunya juga penjaga Bukit Matang Kaladan. Beliau sangat ramah terhadap wisatawan dan merawat tempat ini dengan sangat baik. Namun sekarang beliau tak lagi tinggal dan merawat dengan maksimal Bukit Matang Kaladan. Beliau sendiri yang mengungkapkan alasannya karena pengunjung semakin sedikit.

Dampaknya bisa dirasakan. Beberapa tempat berfoto sudah ada yang rusak dan lapuk. Kalau terus dibiarkan, akan semakin banyak fasilitas yang rusak.

Selain dapat kehilangan tempat wisata potensial, penduduk sekitar juga pastinya akan terdampak secara ekonomi. Ada banyak warung, penyewaan alat-alat camping, hingga ojek yang akan mengalami penurunan pendapatan.

Padahal, menurut cerita dari penjaga, awal mulanya tempat ini dikembangkan dan dikelola secara swadaya. Masyarakat di sana gotong royong, baik berupa dana maupun tenaga. Terkadang masyarakat mengambil pasir dari sungai untuk membangun jalan semen agar tidak memakan biaya besar. Masyarakat jugalah yang memperjuangkan agar listrik bisa mengalir hingga ke puncak dan dipasang lampu penerangan. Sangat disayangkan sekali jika semua perjuangan itu harus berakhir.

Sunset di Matang Kaladan
Menikmati sunset di Matang Kaladan

Sampai sekarang, Bukit Matang Kaladan masih dikelola masyarakat di sana. Saya sempat menanyakan apakah listrik yang ada di sini dibayar oleh Pemerintah? Jawabannya ternyata dibayar secara swadaya oleh masyarakat. Perusahaan listrik negara hanya sebatas memasang instalasi kelistrikan. Selebihnya, masyarakat harus membayar tarif listriknya. Belum lagi harus membayar air bersih.

Mungkin ini alasan kenapa penerangan di sini tidak dinyalakan sepenuhnya. Padahal dari foto dan video yang saya dapat di media sosial, ada banyak lampu warna warni yang menyala di tempat ini jika malam hari. Boleh jadi karena menghemat pengeluaran untuk membayar listrik.

Semoga saja, Pemerintah Daerah dapat mengambil alih beban pembayaran listrik dan air ini. Atau mungkin diserahkan langsung ke PLN saja selaku BUMN. Bukankah kawasan Waduk Riam Kanan digunakan sebagai pembangkit listrik tenaga air. Aneh rasanya jika warga sekitar dibebankan dengan bayaran listrik yang sama. Setidaknya ada keringanan yang diberikan untuk listrik di Bukit Matang Kaladan. Toh, listrik yang digunakan juga tidak terlalu besar.

Satu hal yang tidak boleh terlupa, Bukit Matang Kaladan termasuk salah satu geosite dari Geopark Meratus yang telah ditetapkan sebagai Geopark Nasional. Bahkan sekarang Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan sedang mengusulkan Geopark Meratus ke UNESCO. Tentu saja tempat ini harus dijaga kelestarian dan keberlanjutannya.

Ancaman Kerusakan Lingkungan

Sebelum pulang, kami mampir ke sebuah warung makan terlebih dulu untuk memulihkan tenaga. Jika perjalanan mendaki memerlukan sekitar 1 jam, untuk turun dari puncak, kami hanya perlu waktu sekitar 30 menitan. Lebih singkat memang karena perjalanan turun lebih mudah dan tidak banyak berhenti. Saya memesan nasi sop untuk menu sarapan kali ini.

Di sini saya menyempatkan berbincang sedikit dengan penjaga warung. Dari penuturannya, beliau sudah puluhan tahun berjualan di sini. Satu hal yang saya dapat dari perempuan paruh baya ini yaitu kondisi alam yang mulai rusak karena pertambangan. Kata beliau, kalau kita melewati jalan yang menuju ke wisata Bukit Batu, ada banyak truk yang berlalu lalang.

Saya mencoba mengingat-ingat lagi ketika kemarin datang ke sini. Ketika memasuki kawasan Mandiangin (kalau saya tidak salah), terlihat beberapa bukit yang sudah gundul dan mulai dikeruk. Dari kejauhan bukit-bukit tersebut tampak tidak utuh lagi. Saya membayangkan jika hal itu terus terjadi, bukan tidak mungkin suatu saat akan ada bukit yang hilang (rata dengan tanah).

Di beberapa tempat, memang terdapat banyak truk, seperti yang dikatakan ibu penjaga warung tadi. Jalanan becek dan berdebu. Suasana terasa seperti sedang memasuki area pertambangan. Seingat saya, dulu tidak ada hal semacam ini.

Sebagai warga biasa, saya hanya bisa berharap semoga aktivitas pertambangan dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan sama sekali. Biarlah kita menikmati alam tanpa merusaknya. Bukankah selama ini alam telah banyak memberikan kehidupan kepada kita. Merusak alam sama dengan merusak kehidupan itu sendiri.

Content is King
.

0Shares
Muhammad Noor Fadillah, S.M.

Menyelesaikan pendidikan S1 Manajemen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Sekarang diberi amanah sebagai Duta Baca Kabupaten Barito Kuala. Telah menerbitkan 2 buku, 1 ebook, dan banyak tulisan lainnya yang tersebar di koran, media online, blog, dan platform lainnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *