Content is King

Content is Ki(lli)ng

“Content is King,” begitulah judul essai yang ditulis Bill Gates pada 1996. Meskipun sudah sangat lama, tetapi judul tersebut menjadi frasa yang masih popular sampai sekarang. Terlebih lagi di kalangan pelaku pemasaran digital. Banyak dari mereka yang menjadikan frasa tersebut sebagai prinsip utama dalam beraktivitas di dunia digital.

Content is King atau konten adalah raja merupakan gambaran yang menunjukkan bahwa konten menjadi penentu keberhasilan dari sebuah produk, brand, atau perusahaan. Sebuah produk akan dapat menarik perhatian audience di media sosial dengan menghadirkan konten yang bagus. Satu konten yang bagus dapat menjangkau hingga jutaan penonton. Dengan demikian potensi produk tersebut terjual jadi semakin besar.

Di era sekarang konten memang menjadi primadona baru. Bukan hanya untuk para pelaku bisnis digital tetapi masyarakat biasa pun juga berlomba menciptakan konten. Termasuk saya ^_^

Tujuan pembuatan konten oleh masyarakat tidak hanya untuk berjualan. Namun juga bisa untuk sekadar hiburan, menyalurkan hobi membuat konten, mendapat banyak followers, dan sebagainya.

Kita bisa melihatnya di Instagram, Tiktok, atau Youtube. Setiap hari selalu ada konten baru yang dibuat. Untuk Instagram saja diperkirakan setiap harinya ada lebih dari 95 juta konten foto dan video yang dibagikan di seluruh dunia (buffer.com).

Banyaknya saluran media yang dapat dijadikan tempat memproduksi dan mempublikasikan konten membuat banyak orang terpacu membuatnya. Terlebih lagi media-media tersebut dapat diakses dengan sangat mudah oleh siapa saja dan gratis.

Content is King
.

Jumlah pengguna media sosial di Indonesia sangatlah banyak. Berdasarkan laporan We Are Social, jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia sebanyak 191 juta orang pada Januari 2022 (dataindonesia.id). Jumlah ini kemungkinan akan terus meningkat setiap tahunnya.

Begitupun dengan intensitas penggunaan media sosial yang juga tak kalah besar. Masih menurut laporan We Are Social, rata-rata waktu orang Indonesia mengakses media sosial adalah selama 197 menit atau sekitar 3,2 jam per hari. Secara rangking global, Indonesia menempati urutan ke-10 sebagai negara pengguna media sosial terlama (databoks.katadata.co.id, 2022).

Jumlah pengguna yang besar dengan intensitas penggunaannya yang tinggi tersebut membuat kebutuhan terhadap konten juga tinggi. Di sisi lain orang-orang yang membuat konten di media sosial pun bisa terkenal bahkan kaya mendadak. Sehingga tidak mengherankan jika banyak orang berlomba menciptakan konten.

Profesi baru yang berkaitan dengan konten pun bermunculan dan sering kita dengar. Sebut saja content creator, youtuber, selebgram, influencer dan sebagainya. Tak sedikit orang yang bercita-cita menjalankan profesi tersebut.

Salah satunya dapat terlihat dari hasil survei yang dilakukan Remitly. Dikutip dari detik.com, survei tersebut menunjukkan bahwa banyak orang Indonesia yang ingin menjadi youtuber. Terbaru, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang memungkinkan konten Youtube dapat dijadikan jaminan utang di bank. Content is King benar adanya, bukan?

Keinginan Viral Berujung Fatal

Orang-orang membuat konten demi viral
Gambar ilustrasi seseorang yang sedang membuat konten (Photo by Till Daling. Sumber: pexels.com)

Selain membuat konten, banyak orang juga menginginkan kontennya menjadi viral. Dengan konten viral seseorang merasa lebih diakui, terkenal, mendapatkan banyak followers, hingga keuntungan finansial.

Keinginan untuk viral tersebut sayangnya membuat sebagian orang menjadi kebablasan dengan menciptakan konten yang sensasional, kontroversial bahkan cenderung membahayakan dirinya sendiri. Konten-konten semacam itu memang lebih berpeluang menarik perhatian banyak orang sehingga dapat viral di media sosial.

Ada banyak kasus yang terjadi. Mulai dari konten yang menimbulkan kecaman, masuk penjara, hingga hilangnya nyawa. Pelakunya pun beragam, mulai dari anak-anak, remaja, sampai orang dewasa.

Konten live streaming mandi lumpur di Tiktok contohnya. Banyak mendapat kritikan karena dianggap mengemis online dan tidak bermanfaat. Bahkan untuk beberapa kasus disebut sebagai bentuk eksploitasi karena melibatkan orang yang sudah tua. Konten semacam ini sempat viral dan banyak orang membuatnya.

Ada lagi konten yang beberapa waktu lalu sempat membuat publik gempar. Konten tersebut dibuat seorang youtuber berupa memberikan sembako berisi sampah kepada para transpuan. Selain mendapat banyak kecaman dari banyak pihak, pelaku akhirnya ditetapkan sebagai tersangka dan sempat mendekam di penjara.

Konten prank semacam ini seolah menjadi tren. Selain prank membagikan sembako berisi sampah, ada juga konten prank bunuh diri, menjadi hantu, masjid yang memutar lagu Tiktok, sampai prank terkena Covid-19. Tak sedikit dari konten itu yang akhirnya membuat pelakunya harus berurusan dengan kepolisian.

Kelas instagram Organik Niko Julius - Content is King
.

Korban jiwa akibat membuat konten juga tak dapat dihindarkan. Misalnya konten remaja yang menghadang truk di Bogor telah memakan korban jiwa sebanyak 7 orang sejak tahun 2020 (news.detik.com, 2023). Parahnya konten yang juga disebut “Challenge Malaikat Maut” ini tidak hanya terjadi di Bogor tetapi di juga di kota-kota lainnya. Masih terjadi di Bogor, ada lagi kasus terbaru seorang wanita yang meninggal karena ingin membuat konten gantung diri dan ternyata berujung maut.

Tren konten membahayakan juga kerap kali muncul terutama di Tiktok. Ada beberapa challenge konten di Tiktok yang membahayakan nyawa, seperti Blackout Challenge (tantangan mencekik diri sampai pingsan), Benadryl Challenge (tantangan meminum obat Benadryl sampai mengalami halusinasi), Death Diving Challenge (tantangan melompat dari ketinggian puluhan meter ke air tanpa alat bantu), Skull Breaker Challenge, Outlet Challenge, dan masih banyak lagi.

Mirisnya meskipun challenge tersebut jelas-jelas membahayakan, tetapi ada saja orang yang mengikutinya. Akibatnya menelan banyak korban jiwa di seluruh dunia.

Konten-konten di atas hanyalah contoh kecilnya. Terlalu banyak jika harus disebutkan satu per satu. Setidaknya dari contoh kasus tersebut kita dapat melihat bahwa keinginan membuat konten viral menyebabkan orang-orang rela melakukan apapun dan tak lagi memperhatikan dampak buruknya. Kalau sudah demikian, Content is King dapat diplesetkan menjadi Content is “Ki(lli)ng.

Media Sosial (Terus) Mencari Tumbal

Anak-anak rawan menyalahgunakan media sosial
Anak-anak dan remaja dapat menjadi pembuat konten yang membahayakan diri (Photo by Ron Lach. Sumber: pexels.com)

Konten seperti pisau bermata dua. Ada banyak orang yang sukses bermodalkan membuat konten di media sosial. Namun di sisi lain jumlah orang yang menjadi “tumbal” konten juga tak sedikit.

Media sosial memang telah menjadi candu yang nyata, baik sebagai penikmat saja atau pembuat kontennya. Media sosial ibarat sebuah kolam yang berisi banyak ikan sehingga membuat orang-orang tergiur untuk menangkapnya. Namun jika tak tahu caranya, seseorang malah dapat tenggelam di sana.

Akses media sosial yang begitu mudah membuat siapa saja dapat menggunakannya, sekalipun orang tersebut tak dapat membedakan mana hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Tidak jarang kita mendengar klarifikasi dari pembuat konten “onar” yang mengakui bahwa ia tak ada niat jahat dalam membuat konten. Artinya memang karena ketidaktahuan.

Kemampuan masyarakat Indonesia dalam menggunakan teknologi informasi dan komunikasi digital secara umum sebenarnya makin membaik. Hal ini berdasarkan laporan hasil pengukuran indeks literasi digital Indonesia tahun 2022 yang dirilis Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama Katadata Insight Center.

Meskipun pada pilar Digital Culture mengalami penurunan dari skor 3,9 poin menjadi 3,84 poin. Digital Culture atau budaya digital ini berkaitan dengan cara berinteraksi, berperilaku, berpikir dan berkomunikasi menggunakan teknologi internet.

Baca Juga: Media Sosial dan Keinginan Untuk Membatasi Keinginan

Anak-anak dan remaja zaman sekarang pun sudah sangat akrab dengan gadget dan media sosial. Namun masih disayangkan dengan kondisi pola pikir yang masih berkembang, rendahnya pengawasan dari orang tua, dan kurikulum pendidikan yang masih belum maksimal dalam memberikan pemahaman literasi digital, tak heran jika mereka dapat menjadi “tumbal” media sosial. Seperti beberapa kasus yang terjadi.

Kondisi ini semakin parah dengan munculnya “syndrome” FOMO (Fear of Missing Out) atau rasa takut ketinggalan sesuatu yang baru. Hal ini membuat sebuah tren konten dapat diikuti oleh banyak orang karena mereka tak ingin dianggap ketinggalan. Mirisnya tren konten yang membahayakan sekalipun juga mereka ikuti.

Tidak mudah memang mengatur sebuah ruang bernama media sosial ini. Semua orang merasa memiliki kebebasan beraktivitas di sana. Terlebih perkembangannya yang semakin lama semakin memanjakan sehingga membuat penggunanya rawan lepas kendali.

Melihat kondisi demikian maka tak heran jika kasus orang-orang yang membuat konten berujung kecaman, penjara, bahkan kehilangan nyawa akan terus ada ke depannya.

Oleh karena itu kita sebagai pengguna media sosial harus terus berhati-hati. Lindungi diri sendiri dan orang terdekat agar tak menjadi tumbal media sosial kesekian kalinya. Jangan sampai media sosial benar-benar dapat membunuh kita.

Certified Impactful Writer - Content is King
.
0Shares
Muhammad Noor Fadillah

Menyelesaikan pendidikan S1 Manajemen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Memiliki ketertarikan di bidang ekonomi dan manajemen. Telah menerbitkan 2 buku, 1 ebook, dan banyak tulisan lainnya yang tersebar di koran, media online, blog, dan platform lainnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *