Resesi dan Hati yang Tersakiti
Beberapa waktu yang lalu istilah resesi menjadi perbincangan banyak orang. Rasa-rasanya istilah dalam ekonomi ini muncul di mana-mana. Mulai dari televisi, media sosial, hingga media cetak. Dibicarakan mulai dari pejabat, pengusaha sampai influencer.
Presiden dan menteri keuangan dalam banyak kesempatan sering menyebut ancaman resesi dunia dan perkiraan ekonomi 2023 yang akan “gelap”. Hal inilah yang membuat resesi menjadi perhatian publik saat itu.
Ancaman resesi memang terlihat nyata. Beberapa negara bahkan telah mengalaminya. Begitupun pada 2023 nanti yang mana banyak sumber telah memberikan prediksi negara-negara yang berpotensi besar masuk jurang resesi. Kalau kita masih ingat, Indonesia juga sempat mengalami resesi ketika masa pandemi dulu.
Peringatan yang disampaikan pemerintah tentang ancaman resesi tentu bertujuan baik, yaitu mengingatkan masyarakat agar bersiap menghadapi kemungkinan terburuk. Meskipun sebagian ekonom meyakini bahwa Indonesia terhindar dari ancaman resesi dunia.
Terlepas dari apakah Indonesia kena resesi atau tidak, yang perlu kita cermati adalah respon masyarakat (dan respon kita juga sebagai anggota masyarakat). Masyarakat terbagi dalam hal ini. Ada yang meresponnya dengan positif. Mereka mempersiapkan diri terutama dari segi finansial. Ada yang bekerja (bagai quda) lebih keras agar punya simpanan lebih banyak, menghemat pengeluaran, sampai lebih selektif dalam melakukan investasi.
Namun sebagian lainnya mengkritik bahkan mencibir orang-orang yang menyuarakan ancaman resesi. Mereka mengatakan isu tersebut tidak benar adanya. Hanya menakut-nakuti dan menyebabkan kepanikan di masyarakat. Oleh karena itu perlu dihentikan.
Mantan wakil presiden Jusuf Kalla bahkan sampai menelepon menteri keuangan agar tidak lagi menggembar-gemborkan ancaman resesi. Penyebabnya karena masyarakat menjadi takut dan panik.
Hati yang Tersakiti
Saya jadi membayangkan begini. Andai di awal pandemi dulu pemerintah sigap mengeluarkan peringatan ancaman Covid-19. Ancaman tersebut terus disuarakan diberbagai kesempatan agar masyarakat tahu dan melakukan antisipasi. Nah mungkin saat itu kondisinya akan sama, pemerintah akan dituduh oleh sebagian orang menakut-nakuti masyarakat. Mungkin saja akan ada juga yang menelepon presiden agar berhenti menakut-nakuti masyarakat dengan pemberitaan Covid-19.
Namun sialnya, ketika pemerintah berusaha menenangkan masyarakat dengan misalnya mengatakan Covid-19 tidak akan masuk Indonesia karena perizinannya sulit tetapi yang terjadi sebaliknya, pemerintah akan dituduh kecolongan, teledor, tidak siap, dan sebagainya. Jadi serba salah, kan.
Padahal selain resesi kita masih punya stok isu yang menakutkan lainnya lho. Sebut saja krisis pangan, krisis iklim, potensi gempa megatrust yang dapat menyebabkan tsunami, tenggelamnya Jakarta, dan sebagainya. Saya tidak mau menulis banyak-banyak. Nanti dituduh menakut-nakuti. Ups.
Ada banyak tantangan yang kita hadapi ke depannya. Memberikan peringatan sebenarnya tidak salah sekalipun itu menakutkan. Bukankah dunia sekarang ini memang banyak dihadapkan pada masalah besar yang menakutkan. Semua itu perlu kita ketahui dan hadapi bersama. Apakah kita harus mendiamkannya padahal hal tersebut dapat terjadi sewaktu-waktu? Lagi pula publik punya hak untuk mengetahui isu-isu besar tersebut.
Lalu bagaimana dengan sebagian masyarakat yang ketakutan jika mendengar semua itu? Kalau menurut saya, hal itu memang tidak bisa dihindarkan. Akan selalu ada orang yang takut. Namun selama ketakutan tersebut tidak berdampak buruk terhadap kehidupan bernegara, menurut saya sih tidak masalah.
Salah satu cara meminimalisir ketakutan dan kepanikan masyarakat adalah dengan memberikan edukasi. Dalam konteks resesi, masyarakat perlu dipahamkan apa itu resesi dan bagaimana cara menghadapinya. Justru kondisi ini dapat menjadi momentum untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat agar lebih melek terhadap perekonomian negara. Kalau masyarakat paham maka itu dapat mengurangi ketakutan yang tidak perlu. Ini juga berlaku untuk hal lainnya. Di sini peran media, akademisi/para ahli, termasuk influencer yang punya kapasitas, memegang peranan penting.
Nah, saran untuk pemerintah adalah jangan cuma rajin “mempromosikan” resesi. Namun harus disertai apa strategi pemerintah untuk menghadapinya. Agar orang-orang tidak terlalu panik. Ibaratnya kita memberi tahu keluarga bahwa akan ada badai besar. Disaat bersamaan kita juga memberitahu cara yang akan dan sudah dilakukan untuk antisipasi. Dengan begitu anggota keluarga kan tidak panik berlebihan. Tinggal siap-siap aja dan ikut serta melakukan antisipasi. Kalau tetap panik juga, yaa berarti orangnya memang panikan. Apa boleh buat.
Upgrade Skill, Tips Jitu Hadapi Resesi. Klik di sini
Psikologi Uang
Ramainya pembahasan tentang resesi dan ketakutan banyak orang mengingatkan saya dengan buku The Psychology of Money yang ditulis Morgan Housel. Ia berpendapat bahwa manusia memang cenderung lebih “menyukai” berita-berita pesimisme khususnya dalam hal finansial.
Ia mencontohkan jika seseorang mengatakan akan terjadi resesi besar, maka koran akan menelponnya. Atau katakan bahwa kita mendekati depresi besar maka orang yang mengatakannya bisa masuk TV. Sebaliknya jika seseorang mengatakan kita punya masa depan yang baik (optimisme), orang-orang akan mengabaikannya. Ini sebagai gambaran bahwa banyak dari kita memang punya ketertarikan yang lebih besar terhadap hal-hal pesimisme.
Kita tidak heran kalau media seakan berlomba-lomba memberitakan tentang resesi. Kita pun seperti tak ingin ketinggalan beritanya, kan? Buktinya banyak dari kita yang suka menonton konten atau berita yang membahas resesi sampai akhirnya jadi takut sendiri. Kalau kita tidak menonton atau membacanya, mana mungkin jadi takut.
Salah satu penyebabnya menurut Morgan adalah karena uang ada di mana-mana. Sehingga jika terjadi sesuatu yang buruk maka cenderung berpengaruh dan akan mendapat perhatian semua orang. Dari sini kita dapat memahami bahwa berita buruk khususnya tentang ekonomi memang akan selalu jadi perbincangan publik.
Rekomendasi: Media Sosial dan Keinginan Untuk Membatasi Keinginan
Menjaga Diri Dari Resesi
Saya menanggapi resesi dengan santai tetapi tetap bersiap. Santai karena resesi belum terjadi. Untuk apa saya takut bahkan sampai stress untuk sesuatu yang belum terjadi.
Kalau saya merasa bosan atau bahkan ikut-ikutan takut dengan pemberitaan resesi yang terus-terusan ada, caranya gampang. Cukup alihkan channel televisi atau skip saja media yang memberitakannya. Tanpa saya harus ikut-ikutan heboh.
Di satu sisi saya tetap berusaha mempersiapkan diri semampu yang saya bisa. Kalau nanti resesi memang terjadi, setidaknya saya sudah persiapan. Namun kalau ternyata resesi tidak terjadi, yaa alhamdulillah. Saya sangat bersyukur. Simpel kan sebenarnya. Kenapa kita harus repot dan ribut.
Sebagai individu saya tentu tidak dapat mengontrol pemberitaan. Namun saya dapat mengontrol reaksi saya terhadap pemberitaan tersebut. Saya berusaha fokus pada apa yang dapat saya kendalikan. Ini salah satu cara saya agar tetap waras di tengah hiruk pikuk informasi yang begitu deras. Filosofi teras atau stoikisme dapat saya terapkan dalam kondisi semacam ini.
Saya kira, kita sebagai individu dengan kemampuan terbatas ini perlu punya kendali diri yang lebih baik. Dengan begitu kita tak mudah sakit hati dengan berbagai macam hal yang berseliweran, terutama di media sosial. Hidup sudah banyak masalah, jadi jangan menambahnya dengan membuat ketakutan yang kita ciptakan sendiri.
Ada baiknya kita meyakini perkataan Eleanor Roosevelt bahwa tidak ada orang yang dapat menyakiti kita tanpa seijin kita sendiri (dikutip dari buku “Analekta”). Selamat menjaga diri.
.
Muhammad Noor Fadillah
Menyelesaikan pendidikan S1 Manajemen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Memiliki ketertarikan di bidang ekonomi dan manajemen. Telah menerbitkan 2 buku, 1 ebook, dan banyak tulisan lainnya yang tersebar di koran, media online, blog, dan platform lainnya.