Karya Seni, Apresiasi, dan APBD
Pemerintah Kota Banjarmasin melalui Dinas Kebudayaan, Pemuda, Olahraga dan Pariwisata saat ini tengah menggarap film berjudul Jendela Seribu Sungai (JSS). Film yang diangkat dari novel dengan judul yang sama ini ditulis oleh Miranda (kelahiran Hulu Sungai Selatan) dan Avesina Soebli.
Film JSS ini diproduksi oleh Radepo Studio. Tak tanggung-tanggung, penggarapannya melibatkan aktor dan artis nasional seperti Mathias Mucus, Bima Sena, dan Aryo Wahab. Tak ketinggalan artis lainnya yang lahir di Banjarmasin seperti Olla Ramlan, Bopak Castello, dan Ian Kasela. Bahkan Walikota Banjarmasin, Ibnu Sina juga kebagian memainkan peran sebagai cameo. Sekitar 40 persen tim produksi film ini berasal dari pekerja kreatif perfilman di Banjarmasin.
Putu Fajar Arcana yang merupakan Editor Seni dan Budaya Harian Kompas mengatakan bahwa novel Jendela Seribu Sungai memiliki kelebihan yang sangat langka. Menurutnya penulis novel tersebut berhasil mempertemukan kultur sungai khas masyarakat Banjar dengan kultur pegunungan masyarakat Dayak di Meratus (kompas.com, 2022).
Meskipun mendapat dukungan dari berbagai pihak, tetapi tak sedikit masyarakat yang mengkritik dan menolak pembuatan film JSS. Hal ini bisa dilihat dari percakapan di media sosial dan pemberitaan online. Kontroversi ini terjadi karena ditengarai pembuatan film JSS menelan dana APBD sebesar 6,6 milyar. Beberapa anggota dewan pun meminta proyek pembuatan film ini dihentikan.
Kontroversi terkait biaya pembuatan karya seni sebenarnya tidak hanya terjadi di Banjarmasin. Kalau kita masih ingat, di DKI Jakarta juga pernah menjadi kontroversi ketika pemerintah kota membuat seni instalasi Getih Getah untuk menyambut Asian Games dan Hari Kemerdekaan pada 2018. Seni instalasi yang terbuat dari bambu tersebut menelan dana sebesar 550 juta.
Menurut Sekretaris Fraksi Hanura Veri Yonnevil, pembuatan Getih Getah, baik itu menggunakan dana CSR ataupun APBD sama-sama uang rakyat dan harusnya bisa dialokasikan untuk memfasilitasi warga yang membutuhkan bantuan (metro.tempo.co, 2018).
Kedua kasus di atas hanya sedikit dari banyak kasus yang mungkin terjadi tetapi luput dari perhatian kita. Setidaknya hal ini membuktikan kalau penggunaan uang rakyat atau APBD untuk karya seni sering menjadi masalah.
Tulisan kali ini tidak membahas spesifik mengenai pembuatan film JSS apalagi instalasi Getih Getah yang sudah berlalu. Tetapi lebih fokus membahas alasan penolakan sebagian masyarakat terhadap karya seni yang dibiayai APBD.
Kebutuhan Terhadap Karya Seni
Bagi kebanyakan masyarakat, karya seni dipandang sebagai kebutuhan yang tidak menuntut untuk dipenuhi. Artinya sekalipun masyarakat tidak menikmati karya seni, mereka masih bisa hidup. Karena itu ketika karya seni disandingkan dengan kebutuhan lainnya seperti pembangunan jalan, jembatan, penerangan dan sebagainya, akan kalah jauh.
Pembuatan sebuah film misalnya, paling-paling hanya ditonton sekali dua kali. Itupun jika mereka mau meluangkan waktu untuk menonton. Sementara pembangunan jalan dan jembatan dapat dirasakan langsung manfaatnya setiap saat.
Dalam hierarki kebutuhan tersebut, karya seni masuk dalam urutan terakhir untuk dipenuhi. Artinya selama kebutuhan dasar masih belum terpenuhi, masyarakat akan terus mengkritik dan menolak penggunaan dana APBD yang besar untuk karya seni. Oleh karena itu pendanaan karya seni di daerah yang masih banyak kekurangan dalam pembangunan akan menjadi sulit dilaksanakan.
Masyarakat dalam hal ini tidak dapat disalahkan sepenuhnya. Karena perilaku manusia memang begitu adanya. Dalam teorinya, Abraham Maslow membagi kebutuhan manusia menjadi lima tingkat yang dimulai dari kebutuhan paling dasar yaitu kebutuhan fisiologi, rasa aman, kebutuhan sosial, harga diri, dan aktualisasi diri.
Apabila kebutuhan tingkat pertama (fisiologi) telah terpenuhi, barulah seseorang akan berusaha memenuhi kebutuhan di tingkat kedua. Jika kebutuhan kedua juga telah terpenuhi, barulah ada keinginan untuk memenuhi kebutuhan ketiga dan begitu seterusnya.
Contoh dalam kehidupan sehari-hari misalnya kita akan memprioritaskan membeli makanan daripada buku jika saat itu uang yang dimiliki pas-pasan. Membeli makan jauh lebih penting karena merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Jika kebutuhan makan terpenuhi dan kita masih memiliki uang lebih, maka boleh jadi kita akan menggunakan uang tersebut untuk membeli buku.
Dalam upaya pemenuhannya, ada kebutuhan yang diharapkan masyarakat dapat diwujudkan atau setidaknya dibantu pemerintah. Misalnya kebutuhan paling dasar yaitu fisiologi yang mencakup kebutuhan makan, minum, tidur, dan sebagainya. Masyarakat pun menuntut pemerintah untuk menyediakan lapangan pekerjaan atau kenaikan gaji agar mereka dapat bekerja dan memiliki pendapatan yang cukup sehingga memenuhi kebutuhan makan dan minum.
Penolakan masyarakat dapat pula terjadi karena memiliki ingatan pahit terhadap karya seni yang menggunakan APBD. Misalnya pemerintah menghadirkan karya seni di ruang publik tetapi hasilnya amat mengecewakan dan tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. Ini membuat masyarakat menjadi “traumatik”. Tidak mengherankan jika ke depannya kembali ada rencana menghadirkan karya seni menggunakan uang rakyat, masyarakat akan keberatan.
Baca Juga: Mewujudkan Ketahanan Pangan Keluarga
Keadilan Pemerintah dan Asa Untuk Seniman
Kita menyadari bahwa kebutuhan dasar masyarakat masih belum sepenuhnya terpenuhi. Masih ada sederet masalah yang harus segera diatasi dengan kucuran dana APBD.
Meski begitu jangan dilupakan bahwa kita juga perlu memikirkan nasib para seniman. Bukankah seniman merupakan bagian dari masyarakat yang artinya berhak mendapat bantuan pemerintah, salah satunya melalui APBD. Jika pemerintah dituntut membantu meringankan beban kehidupan masyarakat, maka seniman pun harusnya mendapatkan hak yang sama. Kehidupan seniman perlu dibantu oleh pemerintah yang salah satu caranya dengan menghargai karya seni mereka.
Selama ini pemerintah saya kira telah berusaha menghadirkan keadilan itu dalam penyusunan APBD. Semua bidang, baik itu berkaitan dengan infrastruktur maupun pengembangan kesenian telah mendapatkan porsi anggaran masing-masing.
Tidak adil rasanya jika dana APBD dikuras hanya untuk membangun infrastruktur sementara seniman dan karya-karyanya diabaikan begitu saja. Apalagi jika dianggap sebagai sesuatu yang tidak penting sama sekali. Padahal selama ini masih banyak seniman yang hidupnya terkatung-katung.
Belum lagi beberapa masalah lainnya seperti pembajakan karya seni yang seolah dibiarkan. Ketika nantinya ada kesenian yang hampir hilang atau bahkan diklaim negara lain, barulah kita ribut berjamaah.
Selama ini kita begitu bangga dengan banyaknya seni dan budaya yang kita miliki. Begitu banyak karya seni dan seniman yang telah mengharumkan nama Indonesia dikancah internasional. Tapi kok rasanya sulit sekali untuk kita menghargai mereka.
Urgensi Karya Seni
Salah satu alasan penolakan yang sering mengemuka terhadap pembiayaan karya seni adalah tidak adanya kebutuhan mendesak di masyarakat. Apalagi jika disandingkan dengan kebutuhan fasilitas layanan publik lainnya.
Pemahaman bahwa harus ada kebutuhan atau kondisi mendesak untuk menghadirkan karya seni di tengah masyarakat menurut saya tidak tepat. Karena memang sejatinya karya seni tidak lahir dari kemendesakan.
Coba kita bayangkan, kapan sebuah lukisan berada pada situasi mendesak di masyarakat? Kapan sebuah pementasan drama menjadi sangat penting dihadirkan di masyarakat yang jika tidak terpenuhi akan menyebabkan dampak buruk? Jawabannya tidak ada. Sampai kiamat pun tidak akan ada kondisi mendesak untuk menghadirkan karya seni.
Karya seni berbeda dengan infrastruktur seperti jalan yang dapat berada pada “kondisi mendesak”. Jalan yang rusak berdampak terhadap aktivitas masyarakat bahkan mempengaruhi perekonomian sebuah daerah. Begitupun dengan kebutuhan pangan yang jika tidak dipenuhi bisa menyebabkan kematian. Karya seni tidak hadir untuk memenuhi kebutuhan jasmani, melainkan hadir untuk memenuhi kebutuhan “rohani”.
Oleh karena itu “kondisi mendesak” tidak dapat dijadikan patokan untuk menghadirkan karya seni di ruang publik. Cara pandang terhadap karya seni inilah yang harus diubah.
Perlu juga dipahami bahwa karya seni tidak selamanya hanya membuang-buang uang. Kita bisa melihat contoh suksesnya pada novel dan film Laskar Pelangi. Berkat novel dan film itu daerah Belitung menjadi terkenal ke seluruh dunia. Sektor pariwisatanya bangkit secara menakjubkan dan mampu memutar roda perekonomian masyarakat menjadi jauh lebih baik dari sebelum hadirnya novel Laskar Pelangi.
Dalam konteks pendapatan negara, untuk seni rupa saja telah berkontribusi sebesar Rp2,03 triliyun terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) tahun 2019. Juga terdata sebanyak 17.000 unit usaha yang bergerak di bidang seni rupa (beritasatu.com, 2021).
Meski begitu hendaknya seni tidak hanya dipandang sebagai sumber penghasil cuan. Jangan memandang seni hanya berupa untung atau rugi. Kita harus meluaskan cara pandang.
Seni juga berperan dalam pembangunan kota. Sebuah kota tanpa adanya unsur seni akan menjadi kota hampa tanpa makna. Seni dapat pula menjadi identitas kota dan masyarakat.
Adapun bagi masyarakat, seni dapat mendidik agar menjadi lebih beradab dan berbudi luhur. Oleh karena itu sudah seharusnya seni mendapat perhatian serius dari semua pihak.
Rekomendasi: Belajar Desain Grafis Dari Dasar Hingga Mahir
Catatan Untuk Pemerintah
Memberikan ruang apresiasi untuk seni dan seniman di APBD bukan berarti dilaksanakan secara sembarangan. Karena menggunakan uang rakyat, maka sudah seharusnya diselengarakan dengan perencanaan matang dan langkah-langkah yang sesuai prosedur. Komunikasi kepada masyarakat juga diperlukan agar meminimalisir salah paham.
Apabila semua tahapan sudah dilalui, maka silakan pemerintah memberikan apresiasi kepada seni dan seniman. Meskipun peluang kritik dan penolakan masih ada, tapi itulah konsekuensi yang harus diterima.
Dalam jangka panjang, pemerintah dapat melakukan berbagai cara untuk meminimalisir penolakan karya seni menggunakan dana APBD. Misalnya cara yang menurut saya sangat penting adalah dengan menghilangkan kemungkinan-kemungkinan korupsi terutama pada sektor yang bersentuhan langsung dengan masyarakat seperti infrastruktur, pelayanan publik, dan sebagainya. Hal ini agar pembangunan dapat dirasakan dengan baik sehingga tidak membuat masyarakat “cemburu” jika nantinya pemerintah menyalurkan dana untuk bidang kesenian.
Selain mencegah korupsi pada sektor yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, pencegahan korupsi juga harus dilakukan pada bidang kesenian itu sendiri. Jangan sampai banyak kasus pengadaan karya seni yang dikorupsi yang akhirnya mengecewakan masyarakat.
Kita tentu menginginkan agar APBD yang sejatinya berasal dari masyarakat bisa kembali kepada masyarakat secara adil. Pembangunan infrastruktur, penciptaan lapangan kerja, apresiasi kesenian, dan berbagai bidang lain hendaknya bukan untuk dipertentangkan atau dipilih-pilih. Pada dasarnya semua itu penting bagi perkembangan sebuah kota dan peradaban manusia di dalamnya.
Muhammad Noor Fadillah
Menyelesaikan pendidikan S1 Manajemen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Memiliki ketertarikan di bidang ekonomi dan manajemen. Telah menerbitkan 2 buku, 1 ebook, dan banyak tulisan lainnya yang tersebar di koran, media online, blog, dan platform lainnya.
2 Komentar
syamsudin
mantap om artikelnya 👍
Muhammad Noor Fadillah
Terima kasih Pak