Kenapa Kita Heboh BTS Meal; Analisa Sederhana dari Perspektif Marketing

Sumber: Kompas.com

Ketika saya masih duduk di bangku SMP, bisa dibilang saya termasuk salah satu penggemar K-Pop. Ya saat itu K-Pop mulai booming. Sejumlah nama boy/girl band mulai saya kenal dan sukai seperti Super Junior, Shinee, dan SNSD.

Di Indonesia, “produk lokal” dengan konsep yang mirip K-Pop juga muncul. Saya masih ingat beberapa seperti Sm*sh, XO-IX, 7 Icons, Cherrybelle, dan sejenisnya lah. (Coboy Junior masuk gak ya?). Keberadaan mereka semakin menambah semarak boy dan girl band kala itu.

Saya tidak sendirian sebagai penggemar K-Pop. Teman-teman saya yang lainnya juga banyak yang suka, entah itu laki-laki maupun perempuan. Jadilah kami sering berkirim lagu atau video klik K-Pop terbaru. Ada banyak video klip utamanya di handphone saya dan tentunya sering saya putar.

Tidak terbatas mengoleksi video klip mereka, saya juga sudah mulai menggila. Saya banyak mencari informasi tentang mereka, mendiskusikannya dengan teman-teman, sampai membeli poster dan menempelnya di kamar. Ini serius. Di kamar saya pernah ada poster boy band Korea, lebih tepatnya SUPER JUNIOR.

Poster mereka tepat ada di depan saya ketika tidur. Jadi saat bangun, ya wajah mereka itu yang saya lihat pertama kali. Astagfirullah. Meski sampai sekarang saya kok masih susah ya membedakan wajah mereka. Apalagi yang girl band. Wajah mereka seperti sama semua. Apakah Anda mengalami hal serupa?

Meski awalnya menyukai K-Pop, lama kelamaan saya mulai meninggalkan sang idola khususnya saat masuk SMA. Ketertarikan saya menjadi berkurang terhadap K-Pop entah mengapa. Mungkin salah satunya karena saya terpisah dengan teman-teman sesama penyuka K-Pop. Sampai sekarang, saya hanya menjadi alumni penyuka K-Pop.

Di tahun 2021 ini, pesona K-Pop ternyata semakin menggila. Yang baru-baru ini, McDonald’s mengeluarkan produk bersama BTS yang diberi nama BTS Meal. Produk makanan dan minuman ini menjadi heboh karena banyak diburu khususnya oleh para ARMY-sebutan para penggemar BTS. Di beberapa daerah bahkan gerai McDonald’s sampai harus ditutup sementara karena banyaknya orang berkerumun. Tidak sampai di situ, kemasan BTS Meal yang sudah dibersihkan sampai diperjuabelikan dengan harga berkali lipat dari harga aslinya.

Sebagian orang khususnya yang bukan penggemar bahkan tidak kenal BTS tentu merasa heran. Tak sedikit juga yang mencibir. Mereka tentu berpikir bagaimana mungkin makanan yang tidak terlalu beda jauh dari produk makanan lainnya bisa disambut seantusias itu. Apalagi kalau sampai membeli kemasannya hanya untuk disimpan atau dipajang di rumah. Terlihat menggelikan.

Saya pribadi melihat fenomena ini sebagai sesuatu yang normal. Seperti yang saya ceritakan sebelumnya bahwa saya pun pernah berada di posisi sebagai seorang fans. Adanya keinginan mendapatkan hal-hal yang berkaitan dengan sang idola menjadi suatu kewajaran, termasuk dalam hal ini BTS Meal tersebut.

Dalam perspektif pemasaran, dikatakan bahwa konsumen pada umumnya cenderung melakukan pembelian yang bersifat irrasional. Mereka lebih mengutamakan sisi emosional dalam berbelanja.

Pada kasus BTS Meal tadi misalnya. Kalau dipikir secara rasional, untuk apa orang membeli BTS Meal kalau tujuannya hanya untuk menyimpan kemasannya atau sekadar ditaruh di story IG. Itukan makanan, bukan merchandise. Lagipula di kemasannya juga tidak ada gambar BTS-nya. Apalagi nih kalau dari awal sengaja membeli kemasannya saja dengan harga mahal. Memangnya yang memasak BTS Meal itu para personel BTS? Atau kemasannya ada tanda tangan langsung dari BTS? Sungguh aneh, bukan?

Ditambah lagi bahwa kebanyakan ARMY yang sekaligus konsumen BTS Meal ini adalah remaja. Ya meskipun juga banyak yang sudah dewasa. Nah sebagaimana remaja umumnya, kita tahu bahwa dari sisi emosional mereka belum stabil. Sehingga ketika adanya BTS Meal ini mereka akan sangat mengebu-gebu untuk mendapatkannya. Sementara bagi kalangan dewasa, bukan berarti tidak membeli. Justru kalau mereka sudah punya pendapatan hal itu membuat mereka semakin mudah membeli karena tidak perlu pusing memikirkan uang.

Kita juga bisa melihat ini dari sisi yang agak “filosofis”. Masih dalam perspektif pemasaran bahwa yang terjadi sebenarnya para konsumen tidak membeli BTS Meal, tetapi membeli kebanggan dan pengakuan. Maksudnya adalah dengan membeli BTS Meal mereka merasa sangat bangga karena itu adalah produk idola mereka. Dengan membeli BTS Meal mereka juga merasa akan semakin diakui sebagai ARMY sejati. Sama halnya dengan orang yang beli sepatu. Sebenarnya bukan karena ingin membeli sepatunya tapi ingin membeli kenyamanan untuk kaki mereka dan terlihat keren di hadapan orang-orang. Oleh karena itu, walaupun BTS Meal cuma makanan yang kesannya biasa aja, ya akan tetap dibeli.

Dari fenomena ini, kita bisa ambil pelajaran daripada ribut dan berdebat di medsos. Kita bisa belajar dari McDonal’s yang jeli membaca perilaku konsumen. McDonald’s tidak perlu susah payah misalnya menawarkan produk di pinggir jalan atau memberi potongan harga terutama saat masa pandemi. Mereka bisa bekerjasama dengan BTS yang itu otomatis mampu menyasar para ARMY yang militan dan pasarnya besar. Dari beberapa artikel yang saya baca bahkan didapati cerita para ARMY yang sebenarnya tidak suka fastfood tapi tetap membeli BTS Meal. Bukankah ini srategi yang hebat?

McDonal’s sengaja membuat produk ini bersifat terbatas sehingga terkesan eksklusif. Ini menciptakan semacam urgensi agar orang-orang segera membelinya. Padahal mereka bisa saja terus-terus menjual produk ini. Toh bahan membuat BTS Meal bukan dari bahan langka yang hanya bisa ditemukan di Hutan Sumatera, kan? Tapi tentulah kalau seperti itu tidak eksklusif lagi.

Di sini kita juga bisa melihat pentingnya kerjasama. Kita bisa melihat ini dari keberhasilan BTS dan McDonal’s. Padahal dua pihak ini bermain di industri yang sangat berbeda. Yang satu joget dan nyanyi yang satunya lagi jual makanan cepat saji.

Satu hal yang menjadi catatan untuk McDonal’s yaitu tentang protokol kesehatan. Kita tahu bahwa sekarang masih berada di tengah pandemi Covid-19. Di beberapa daerah bahkan masih dinyatakan sebagai zona merah. Karena itu harus sangat diperhatikan untuk menjaga protokol. Yang lebih penting jangan sampai pelanggaran protokol kesehatan ini justru akan merusak citra McDonald’s.

0Shares
Muhammad Noor Fadillah

Menyelesaikan pendidikan S1 Manajemen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Memiliki ketertarikan di bidang ekonomi dan manajemen. Telah menerbitkan 2 buku, 1 ebook, dan banyak tulisan lainnya yang tersebar di koran, media online, blog, dan platform lainnya.

2 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *